TABANAN, TUTURBALI.COM – Setidaknya ada 105 peserta World Water Forum (WWF) ke-10 yang mengunjungi Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali, Sabtu (25/5/2024).
Rombongan peserta dari berbagai negara ini disambut oleh Sekretaris Daerah Tabanan I Gede Susila, yang didampingi oleh Manajer Operasional DTW Jatiluwih, I Ketut Purna, serta sejumlah pejabat terkait dari Pemkab Tabanan.
Saat tiba, peserta WWF menerima kalungan bunga gemitir dan disambut oleh 20 penari Rejang Kesari serta 20 pager ayu yang berjajar di sepanjang jalan menuju area terasering persawahan di Subak Jatiluwih.
Manajer DTW Jatiluwih I Ketut Purna, memberikan penjelasan kepada rombongan mengenai sistem Subak, yang merupakan organisasi pengaturan air di sawah. Ia juga menjelaskan tentang kehidupan penduduk Desa Jatiluwih yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, serta beras merah atau padi Cendana yang ditanam secara turun-temurun di Subak Jatiluwih.
“Mereka sangat tertarik dengan sawah berundak serta sistem subak yang ada di Desa Jatiluwih. Mereka juga menanyakan tentang beras merah yang diproduksi petani di Subak Jatiluwih,” ujar Purna.
Rombongan peserta yang mengunjungi DTW Jatiluwih ini berasal dari berbagai negara seperti Kenya, Prancis, Estonia, Jepang, Korea, Denmark, Aljazair, Kazakhstan, Suriname, Turki, Kanada, Afrika Selatan, Timor Leste, India, dan Indonesia. “Jumlah peserta sekitar 100 orang, namun dari jumlah kalung bunga yang disiapkan, yakni 105 untai, semuanya habis terpakai,” jelas Purna.
Menurut Purna, kunjungan kali ini adalah yang terbesar selama pelaksanaan WWF di Bali. “Biasanya, delegasi yang datang hanya beberapa orang saja, paling banyak belasan. Kali ini mencapai lebih dari seratus orang, sehingga kami menyambut mereka secara khusus dengan pager ayu dan tarian Rejang Kesari, tarian yang didedikasikan untuk Dewi Sri, Dewi kemakmuran dan kesuburan,” tambahnya.
Purna juga merasa terkesan dengan delegasi dari Thailand, meski pertanian mereka sudah lebih maju, mereka tetap tertarik mengunjungi Jatiluwih. Begitu juga dengan delegasi dari Namibia yang sangat tertarik dengan sistem Subak dan menyarankan agar seluruh delegasi WWF belajar mengenai tata kelola air irigasi yang dikenal dengan nama Subak.
Subak adalah sistem irigasi tradisional Bali yang telah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Sistem ini berfungsi mengatur pembagian aliran irigasi yang mengairi setiap petak area persawahan, dikelola secara berkelompok dan bertingkat, dengan pembagian peran yang spesifik bagi setiap anggotanya.
“Pembagian air didasarkan pada luas petakan sawah, semakin luas areanya, semakin banyak jatah air yang didapat,” pungkas Purna. (TB)