GIANYAR, tuturbali.com – Sebuah gundukan di lahan persawahan Tegal Sahang, Desa Samplangan, Gianyar menjadi titik pembangunan Pura Presada Dinasti Ida Dalem Ketut Cri Kresna Kepakisan. Tempat tersebut diyakini sebagai lokasi pusat kerajaan Linggarsa Pura sebagai awal dari masuknya Majapahit di Bali.
Hingga saat ini belum ditemukan dimana lokasi pertama bala pasukan Majapahit yang dipimpin Gajahmada bermukim di Bali. Namun dari sejumlah babad dalem disebutkan permukiman pertama berada di tengah-tengah hutan yang diapit dua sungai.
Dari penelusuran yang dilakukan diketahui lahan tersebut berada di Tegal Sahang Desa Samplangan karena lokasi tersebut diapit oleh sungai Cangkir di Barat dan Sungai Sangsang di Timur. Di tempat tersebut juga ditemukan sejumlah perahu yang sudah membatu di sungai. Hal ini membuat keturunan Cri Aji Kresna Kepakisan mencari peninggalan yang menguatkan isi dari babad tersebut.
Penelusuran yang dipimpin Ida Cri Bhagawan Sabda Murthi Dharma Kerti Maha Putra Manuaba pun akhirnya tertuju pada lahan persawahan yang terdapat gundukan tanah. Masyarakat sekitar mempercayai sering terjadi kejadian aneh bila ada yang melangkahi atau pun menjatuhkan sesuatu di atasnya. Hal itu pun dipercayai dan diceritakan secara turun temurun.
“Sering kali ada kejadian aneh jika ada warga yang tidak sengaja menjatuhkan pohon kelapa di atasnya. Warga pun terpaksa melempar jauh buah kelapa agar tidak sampai mengenai tempat tersebut,” tutur Ida Bhagawan, Senin (26/10).
Ida Bhagawan pun meminta kepada pemilik tanah I Dewa Gede Bisma yang berasal dari Desa Samprangan untuk membangun tempat pemujaan di tempat tersebut. Apalagi sejumlah masyarakat sudah lebih dulu sering datang ke tempat ini untuk bersembahyang.
Setelah mendapatkan ijin, sejumlah keturunan Cri Aji Kepakisan lantas bersama-sama membangun tempat pemujaan yang terdiri dari tiga pelinggih yakni pelinggih padmasana, pelinggih Sanghyang Eka Twa Dalem Cri Kresna Kepakisan dan pelinggih penyarikan.
Khusus untuk pelinggih Dalem Cri Kresna Kepakisan memiliki tumpang candi yang terbentuk dari perpaduan arsitektur Majapahit dan Bali. “Kalau Bali pelinggih menggunakan tumpang meru sementara di Jawa pada jaman Majapahit menggunakan candi. Sehingga terbentuklah penunggalan arsitektur Bali Majapahit menjadi tumpang candi,” jelasnya.
Selain itu dibangun juga patung Gajah Mada di lahan yang menurut masyarakat tidak bisa ditanami pepohonan. Keyakinan masyarakat di lahan tersebut memiliki energi yang membuat tanah tersebut tidak bisa untuk ditanami pepohonan. “Masyarakat pun menyebut tempat tersebut sangat angker. Sehingga tidak ada yang berani macam-macam di tempat tersebut,” bebernya.
Setelah pelinggih dan juga patung Gajah Mada jadi rencananya dilaksanakan upacara Tawur Walik Sumpah pada 25 November 2020 dan Ngenteg Linggih tanggal 30 November 2020. Untuk menuju tempat ini harus melalui jalan paving di timur Balai Banjar Samplangan ke selatan menuju persawahan. Selanjutnya melalui jalan setapak yang hanya bisa dilalui sepeda motor. (007/TB01)