TuturBali.com – Cerita Anggota Dewan yang bokek ternyata benar adanya. Bahkan ada anggota dewan yang harus dikejar-kejar rentenir. Tak sedikit pula mereka ada yang harus pinjam dikolega sana sini bahkan bayarnya harus mencicil hingga berujung menjadi pertengkaran.
Cerita ini datang dari anggota dewan di salah satu kabupaten di Bali. Anggota dewan yang masih berumur relatif muda menuturkan kepada TuturBali.com, ia dilantik sebagai dewan untuk pertama kalinya pada tahun 2019. Suara yang diperolehnya tak cukup tinggi, namun suara yang diperoleh partai yang menyokongnya dirinya bisa duduk di kursi yang terhormat itu.
Semenjak itu gaya hidupnya mulai berubah. Awalnya ia berkecimpung di dunia pariwisata sebagai calo akomodasi pariwisata, baik villa atau restoran. Dari profesinya itu hidupnya sebenarnya sudah lebih dari cukup. Namun obsesi dan keinginan untuk eksistensi mendorongnya terjun ke dunia politik, terlebih yang mengusungnya adalah partai pemenang.
Total pendapatannya untuk menjadi dewan cukup tinggi, sekitar dua digit. Namun besarnya pendapatan tidak berbanding lurus dengan pengeluarannya. “Bahkan besar pasak dari pada tiang,” tutur dewan itu sambil menghisap rokoknya, saat bertutur kepada Tutur Bali.
Dua puluh lima persen dari total pendapatan itu harus disetorkan sebagai iuran pusat. Sebesar 25 persen lagi untuk iuran Daerah. Ia hanya mendapatkan maksimal 30 persen dari total pendapatannya.
Pendapatan 30 persen tersebut, habis untuk biaya operasional sebagai anggota dewan yang harus bersosialisasi bertatap muka dengan masyarakat. Setiap kunjungannya ke sebuah pura, kondangan ke tempat orang menggelar hajatan, minimal ia harus mengisi amplop Rp 500 ribu sampai Rp 2 juta. Belum lagi ada relawan dan tim sukses yang harus dijamin. “Jelang pemilihan ini nilainya makin meningkat minimal 1,5 juta-5 juta,” ujarnya.
Sementara bansos yang ia fasilitasi dari kabupaten, tak sepenuhnya berasal dari kemerdekaannya sebagai seorang penyerap aspirasi rakyat, namun hasil dari loyalis (menjilat) terhadap pimpinan. Sebab kalau tidak seperti itu ia bisa kapan saja bisa di PAW (Pengganti Antar Waktu). Sehingga loyalitasnya harus tetap diperlihatkan. “Seperti buat kegiatan, jika koordinatornya adalah saya, ya harus all out, bahkan harus menalangi,” tuturnya. Bansos ini yang kadang menolongnya. Mereka yang sudah mendapatkan bansos biasanya malu kalau meminta lagi.
Untuk menutupi kekurangan itu ia pun harus meminjam sana-sini. Banyak penagih hutang yang mendatanginya, bahkan ia sampai tidak enak tidur. Namun ia juga tidak memungkiri ada enaknya menjadi anggota dewan. Ia bisa berangkat keluar daerah gratis bahkan dibiayai. Fasilitas yang diterimanya juga sangat menunjang eksistensinya. Jaringannya banyak, setiap datang ke hajatan ia selalu diagung-agungkan, disediakan tempat khusus. Bahkan perkataannya tidak ada yang membantah. “Meski saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar, mereka juga manggut-manggut,” tuturnya.
Dekat dengan kekuasan itu memang menyenangkan, bahkan menurutnya itu menjadi candu. Ketika ia tidak bisa dekat dengan pimpinan, ia merasa terbuang. Perasaannya jadi ngambang. Maka ia harus berusaha bagiamana pun caranya agar selalu dekat dengan pimpinannya, menunjukan loyalitasnya, meski harus berhutang. “Seperti candu, yang penting saya bisa menutupi, makanya terkadang saya juga dalam tanda petik membodohi simpatisan dan timses saya agar saya tidak ada saingan,” pungkasnya. (TB02)