GIANYAR, tuturbali.com – Ngakan Nyoman Susila sudah 23 tahun menggeluti dunia batu bata merah. Usahanya bernama Eka’S di Tulikup, kini mempekerjakan lima orang perajin batu bata merah.
Banyak lika-liku yang dilalui pengusaha bata dari Banjar Meranggi, Desa Tulikup, Kecamatan Tulikup, Kecamatan Gianyar tersebut. Salah satu yang terberat adalah melalui pandemi covid-19. “Saat pandemi, harga bata murah. Hanya Rp 2.000 per bata. Jadi per seribu bata seharga Rp 2 juta,” tutur Ngakan Susila, Sabtu (16/9/2023).
Kini melewati pandemi covid, harga bata per seribu mencapai Rp 5,5 juta. “Harga naik, karena bahan baku minim. Dan orderan meningkat. Bahan naik, dari perajin hingga pemberi bahan mentah ikut kena imbas,” tuturnya.
Kini, produksi sehari bisa mencapai 300 yang dihasilkan bata super. “Permintaan banyak, sampai kewalahan. Kami ngirim sampai ke Tabanan, Buleleng, Tampaksiring, dagang sanggah juga membeli di sini,” jelasnya.
Diakui, sesama perajin Tulikup saling kerja sama sesame warga. Kebetulan, Desa Tulikup dikenal dengan sentra kerajinan bata merah. “Kalau habis di saya, ambil di tetangga. Namun krena stok minim, harga jadi minm,” jelasnya.
Meski harga bata naik, keuntungannya sebanyak 20 persen saja.
“Dari harga pokok dikurangi ongkos transport dan biaya angkut, jadi 20 persen masuk keuntungan,” ujar dia sambil menghitung.
Lebih lanjut dikatakannya, kenaikan harga bata tahun ini tak lepas dari banyak proyek pemeritah yang menggunakan bata Tulikup. Apalagi, dari pemerintah daerah memang menganjurkan menggunakan bata lokal.
Proyek besar yang menggunakan bata Tulikup adalah Proyek Penataan Pura Jagatnatha Denpasar dan Penataan Pantai Kuta.
“Sekarang banyak bansos keluar dari pemerintah. Banyak pembangunan,” jelas dia. Bata yang dihasilkan juga banyak menghias pura di sejumlah daerah di Bali. “Kalau balai banjar banyak,”
Sementara itu, pembuatan bata dari nol dari cetak hingga pembakaran membutuhkan proses sampai satu bulan. “Sekali produksi 15 ribu bata. Bahan dari tanah, saang (kayu bakar), cetakan hingga pembakaran membutuhkan 3 hari non stop,” urainya.
Untuk kualitas boleh diadu. “Kualitas kami dijamin bagus,” akunya.
Sebagai perajin cilik, dia berharap bantuan dari pemerintah berupa mesin. “Contoh mesin seperti di Pejaten, Tabanan, pakai mesin. Kalau kami di Tulikup masih manual. Untuk modal kami dulu pinjam di BPD berupa KUR sebanyak Rp 500 juta,” kenang dia.
Dari lika-liku tersebut, penghasilan yang diperoleh Ngakan Susila mencapai Rp 10-15 juta kotor setiap bulan. “Kami bisa hidupi keluarga dan mempekerjakan lima orang pekerja,” jelas dia. (TB)