KLUNGKUNG, TUTURBALI.COM – Sebelum Bali takluk di bawah Belanda, terjadi pertarungan sengit di Kabupaten Klungkung. Perang Puputan, mati-matian, habis-habisan pecah pada tahun 1908.
Belanda yang sudah mengambil ancang-ancang di Pantai Kusamba, mendekati kota Semarapura. Di depan Puri atau keraton kediaman sang raja, serdadu Belanda membombardir Puri Agung Klungkung.
Seluruh bangunan hancur. Sang raja, Dewa Agung Jambe gugur.
Namun, ada yang tersisa dari gempuran serdadu Belanda. Pemedal Agung. Atau kori, semacam pintu masuk menuju istana masih utuh. Seolah luput dari gempuran bombardir.
Bahkan, karena Puri hancur, keluarga yang masih hidup kini mendiami Puri di sebagai utara, tepatnya di depan Alun-alun Klungkung.
Lalu kenapa Pemedal Agung masih bertahan?
Keturunan raja Klungkung, Ida Dalem Semaraputra, menuturkan, saat Belanda menyerang Puri Agung, konon serdaru Belanda melihat lautan. Belanda pun takut dan menghentikan serangan.
Bangunan Pemedal Agung diperkirakan berdiri sejak 1700-an dan masih dijaga, dirawat, hingga saat ini.
“Pemedal Agung merupakan saksi bisu perang Puputan Klungkung. Ini menunjukkan sikap masyarakat Bali yang menempatkan harga diri dan kehormatan di atas segalanyam,” tutur Ida Dalem yang kini merupakan Panglingsir Puri.
Pemeda Agung kini disucikan. Bahkan, Pemedal yang berisi pintu dari kayu, tidak pernah dibuka. “Masyarakat bersembahyang di Pemedal Agung memohon keselamatan,” tutur dia.
Persembahyangan ke Pemedal Agung juga sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa pejuang. (TB)